Buahnya
Saat pagi mulai menjelma dan matahari
mulai menyala. Saat itu aku terbangun dengan status yang masih manusia setengah
sadar. Tak sempat untuk mandi dan gosok gigi, air wudhu mulai tersiram dan
meresam di pori. Kamar mandi tempat ku berwudhu itu sekilas tak ada yang
mengantri, tapi keadaan berubah setelah pintu terbuka. Lebih dari setengah dari
jumlah penghuni asrama putri A turut serta mengantri.
Kamarku ada di jejeran nomor empat. Di
sana ada 2 pasang tempat tidur, dua lemari dua pintu, dua pasang meja belajar,
dua buah lemari buku, dan 4 insan penghuni. Tidak cukup sempit tinggal di sini
bagi yang sudah terbiasa, tetapi bagi pemula hal ini mampu membuat nafas
terhenti sejenak. Tapi tidak menjadi
masalah, hal ini terbayar dengan atmosfer yang sangat baik di asrama. Suhu di
ruangan ini terkadang sering meningkat hingga membuat penghuninya cukup gerah
dan berkeringat. Apalagi untuk seorang saski yang bertubuh aduhai kecil, eits kelingkingnya.
Menjadi pelajar sekolah menengah atas
adalah aktivitas yang luar biasa sok sibuk.
Apalagi aktivitas belajar mengajar berlangsung mulai dari pukul 07:00-16:00
WIB. Hal itu belum terhitung tugas dan kegiatan lainnya. Tapi tidak untuk hari
ini. Hari ini diawali dengan isu yang luar biasa menggembirakan. Kabarnya kami
akan di pulangkan pukul 10:00 WIB. Hari ini bukan hanya menjadi hari yang di
tunggu siswa-siswi saja, cleaning servise,
dewan guru, dan staff juga adalah para penanti kedatangan hari ini.
Ketika saatnya tiba. Pengunguman dari
pusat informasi di sekolah berkumandang kepada
seluruh peserta didik di harapakan memasuki kelas, karena rapot akan segera
dibagikan. Karena bagian kami di ruang empat, maka kaki kami terus
melangkah tanpa peduli panasnya hari menuju ruang empat. Sesampai di sana
banyak teman-teman yang sudah menunggu, sekitar tujuh belas dari 23 siswa telah
berada di ruangan. Setelah semuanya lengkap, barulah wali kelas kami datang
dengan membawa tumpukan rapot. Dari kejauhan saja wanita yang melihat tumpukan
itu sudah histeris berteriak. Entah
itu teriakan takut atau bahagia.
Acara telah di mulai dan ibu Sri yang
merupakan walikelas kami telah duduk rapi dengan bahagianya di kursi guru. Hal
ini merupakan pembuka acara pembagian rapot semester ini. Beliau hanya
menyebutkan siswa-siswi yang masuk dalam katagori tiga besar. Sama seperti
semester sebelumnya, lagi-lagi di sana tidak ada nama Saskia Kurnia Riandasari. Bukan karena faktor beruntung atau
tidaknya. Itu adalah hasil murni pembelajaran akademik semester ganjil.
Seluruh rapot telah sampai ke tangan
pemiliknya masing-masing. Tapi ada satuhal yang ternyata yang membuat kelas
kami ada cerita tersendiri. Kami di instrospeksi satu per satu oleh wali kelas
yang super cantik itu. Walaupun sudah berkepala dua, beliau masih sangat
bersemangat. Jadi untuk melakukan sesi intospeksi bukanlah hal yang sulit
baginya. Dalam sesi ini kami di tanyai mengenai keinginan kami mengetahui
peringkat masing-masing dalam kelas. Serentak kami menjawab “ Setuju!! “. Apa
boleh buat kertas itu di perlihatkan secara diam-diam, karena dengan tujuan
agar tidak ada perorangan yang merasa dirugikan oleh lagi-lagi jumlah nilai.
Untungnya nama ku bukan nama yang
berada di table paling bawah. Hal itu sudah cukup untuk ku, karena memang semua
itu berimbang. Bagiku aku sudah berjuang lebih untuk menggapai hal yang
diidamkan semua insan. Tapi keadaan berkata lain. Makanya bukan itu yang
menjadi prioritas seorang Saskia untuk menjadi manusia besar kelak.
Yang aku lakukan saat itu adalah
bersabar dan terus mengingat kesalahan enam bulan terakhir ini. Kaki ku tuterus
melangkah sesuai kebiasaannya untuk pulang ke asrama dan mengambil tas yang
penuh denagan baju hasil packing tadi
malam.
Usai ganti baju dan pamit dengan teman
asrama, tanpa ragu lagi kakiku berjalan ke depan sekolah menuju jalan raya.
Saat itu aku masih ada nyali untuk naik motor. Motor yang di setir oleh mamang ojekpun menuju langsung ke pasar
tempat tongkrongan mobil yang akan
menuju ke desaku.
Dengan waktu kurang lebih satu jam.
Mobil kijang yang ku naiki sampai di depan rumah. Perasaan rindu akan rumah dan
masakan ibu, menghantui jiwa dari beberapa hari silam, dan saat ini adalah saat
yang tepat untuk membalas kerinduan itu. Ibu dan ori (adikku) ternyata sudah
menunggu. Tampaknya mereka tahu akan rasa rinduku pada semuanya. Hidangan di
meja sudah siap untuk di santap dengan lahap.
Malam harinya ketika kami berkumpul
sambil menonton televisi, terjadi perbincangan antara ayah dan ibu. Mereka
mengatakan untuk liburan kali ini mereka memilih untuk berlibur ke Pagar Alam.
Kota yang penuh dengan teh dan udara segar. Inilah saat melepas kepenatan
selama belajar berbulan-bulan. Saatnya berpacu dalam udara bak wilayah jawa. Perkataan dan keadaan itu seolah menyadarkanku
akan kebesaran tuhan. Memang benar ada pepatah yang mengatakan semua akan ada hikmahnya.